Suatu hari, seorang ibu setengah baya sedang dilanda
kelaparan, ia berusaha meminta bantuan kepada orang lain untuk mendapatkan
kemurahan hatinya. Seharian ia berjalan, berpuluh orang telah dijumpainya.
Jawaban yang di dapatkannya adalah sama, tak ada seorang pun yang memedulikan
nasibnya.
Cemoohan dan cacian sering ia dapatkan sebagai jawaban dari
mereka. Mulai dari yang menolak secara halus sampai dengan yang kasar telah
diterima oleh Inah, ibu setengah baya yang sedang kelaparan. “maaf bu,
saya nggak punya nasi…”
“wah, kalau pingin makan ya kerja sana, jangan minta-minta…”
“ayo, pergi sana. Jangan ganggu kami yang sedang bekerja…”
Dan masih banyak jawaban-jawaban yang cukup
menyakitkan hati bu Inah. Tetapi rupanya bu Inah ‘pantang menyerah’ ia
terus berjalan mencari seseorang yang mau membantunya untuk memberi sebungkus
atau sepiring nasi untuk mengisi perutnya. Bu Inah sudah tidak bisa menahan
rasa lapar nya, sampai-sampai ia jatuh terduduk di pinggiran sebuah toko. Bu
Inah meringis menahan rasa lapar.di peganginya perutnya yang terasa sakit.
Sementara itu banyak sekali orang yang lalu lalang di
depannya. Tetapi tetap saja tak ada seorangpun menaruh rasa iba kepadanya.
Malam itu dilalui bu Inah dengan penuh rasa derita. Perut yang begitu lapar
tidak bisa ia ajak untuk memejamkan mata. Malam terasa begitu lama baginya.
Dingin, lapar, haus mewarnai tubuh yang rebah lunglai di trotoar kotor. Harapan
untuk mendapatkan sebungkus nasi untuk mengisi perut tidak ia dapatkan sama
sekali hari itu. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali bu Inah kembali berjalan
menyusuri lorong kecil dan jalan besar untuk mendapatkan sebungkus nasi bagi
perutnya yang semakin tak tertahankan.
Pagi,.. siang,.. tak ia jumpai seorangpun yang mau menolong
dirinya. Bahka jawaban dari mereka sangat menyakitkan hati. Saat hari sudah
menjelang sore, bu Inah hampir putus asa. Dari kejauhan tampak seorang wanita
muda yang sedang menggendong anak berusia enam bulan. Baju ibu muda itu begitu
kotor, demikian juga pakaian yang dikenakan oleh anak yang digendong nya. Ibu
Inah mendatangi wanita muda itu. Dengan terbata menahan rasa lapar ibu Inah
memohon kepada wanita tersebut. “bu, tolong bu, saya sudah dua hari ini tidak
makan. Saya lapar sekali …adakah sebungkus nasi untuk mengisi perut saya?”
Dengan agak heran ibu muda itu bertanya : “mengapa nggak
beli saja bu, kan banyak di warung-warung kecil makanan yang murah-murah..”
katanya. “ saya tidak punya uang bu .…” kata bu Inah.
Dipandanginya seluruh tubuh bu Inah oleh ibu muda ini, tak
luput ia juga memandang anak yang berada dalam pelukannya. Tanpa terasa mata
ibu muda ini tampak berkaca-kaca. Kemudian pandangannya menebar ke
sekeliling tempat ia berdiri. Selanjutnya ia berjalan menuju sebuah warung
kecil yang kebetulan berada tidak jauh dari dirinya. Ia membeli sebungkus nasi
dengan uang kertas ribuan yang lusuh dan beberapa uang receh yang ada di
genggamannya. Setelah ia dapatkan sebungkus nasi, maka dengan hati penuh iba ia
serahkan nasi bungkus tersebut kepada ibu Inah yang menurut pengakuannya sudah
dua hari tidak makan.
Tanpa menunggu lama, disantapnya nasi bungkus tersebut
dengan lahap oleh ibu Inah. Wanita muda itu melihat ibu Inah dengan hati penuh
rasa gembira. Pandangan matanya menunjukkan bahwa hatinya sangat bahagia karena
mampu memberi sesuatu yang sedang dibutuhkan oleh orang yang sedang membutuhkan
pertolongannya. Bahkan tanpa di minta oleh ibu Inah, wanita muda itu kembali ke
warung tempat ia membeli nasi, kemudian ia tampak kembali ke tempat bu Inah
sambil membawa segelas teh hangat.
Sambil minum teh hangat bu Inah memandang penuh kagum
terhadap wanita muda yang menggendong anaknya itu. Setelah bu Inah selesai
makan dan minum dengan lahap, dua orang tersebut terlibat dalam pembicaraan
cukup menarik bagi siapa saja yang mendengarnya.
“…ibu siapa, dan dari mana, kok tampaknya bukan orang daerah
sini?” kata wanita muda itu. “iya bu, nama saya Inah. Saya memang bukan
penduduk sini, terus ibu ini siapa…? Apa pekerjaan ibu? Mengapa anak ibu yang
kecil ini tidak ditinggal saja di rumah?” Tanya bu Inah.
“nama saya sumarni, pekerjaan saya pemulung bu…! Lebih baik
anak saya dibawa saja, soalnya dirumah juga tidak ada yang menungguinya…” kata
sumarni sambil menyeka keringat yang ada di keningnya. “mengapa ibu mau
menolong saya?” kembali ibu Inah bertanya kepada sumarni.
“ah, sudahlah bu jangan dipersoalkan. Kebetulan saya ada
uang sedikit yang cukup untuk membeli sebungkus nasi, sekadar menutup rasa
lapar ibu” jawab sumarni singkat.
“baiklah bu, terima kasih atas pertolongan ibu…” jawab bu
Inah singkat sambil berlalu meninggalkan sumarni yang masih memandangnya dengan
penuh rasa iba.
Setelah sejenak memandang kearah anak kecil yang ada di
gendongannya, sumarni berjalan perlahan untu meneruskan ‘pekerjaanya’ menyusuri
kota Jakarta. Tak lama sumarni berjalan, tiba-tiba ia dihentikan oleh seorang
wanita muda.
“bu,sebentar bu,…!” kata wanita muda itu
“ada apa mbak…?” jawab sumarni
“ tadi saya lihat ibu membelikan makan dan minum untuk ibu
setengah baya, siapa ibu tadi?”
“oh,yang barusan tadi? Saya juga tidak tau .” kata sumarni.
“mengapa ibu mau menolongnya..? kan ibu juga perlu untuk
membeli makanan untuk anak ibu”balas wanita muda itu.
“ah, ndak apa-apalah ! kasihan, dia sudah dua hari tidak
makan. Kebetulan saya ada uang yang cukup untuk membeli nasi bungkus dan
segelas teh. Mudah-mudahan nanti ada rezeki lagi buat anak saya…” katanya,
sambil ia membetulkan posisi gendongan anaknya.
“baiklah bu. Oh ya, nama ibu siapa?” kembali wanita muda
tersebut bertanya. “nama saya sumarni mbak..” jawab sumarni singkat.
“bu, karena ibu telah menolong orang lain yang sedang
kelaparan, meskipun ibu juga sedang membutuhkan sesuap nasi untuk diri ibu dan
anak ibu, maka terimalah ini sekedar rezeki buat ibu dan anak ibu…” kata wanita
muda itu sambil mengeluarkan uang lima puluh ribuan yang cukup banyak dari tas
hitamnya.
Sumarni terbelalak, memandang uang tersebut, ia tidak bisa
berkata apa-apa. Terasa tersendat mulutnya untuk bicara.
“apa,..apa.. mbak..?! katanya agak tergagap. Sambil
tersenyum, wanita muda itu mengulurkan tangannya kearah Sumarni sambil
memberikan uang tersebut. “Terimalah…” katanya.
Maka meledaklah tangis Sumarni. Dirangkulnya rapat-rapat
wanita itu. Cukup lama Sumarni menangis dipelukan wanita muda itu.
“Terimakasih, terima kasih… mbak…. ?! ya Allah… terima
kasih…” Sumarnipun langsung tersungkur Sujud bersama anak yang ada dalam
gendongannya, " Ya Allah....Maha benar Engakau ya Allah....betapa Janjimu
tak pernah Engkau ingkari, ampuni aku Ya Allah....aku seringkali melupakanMU
karena kesibukan Duniaku............ ", Hanya itu kalimat yang bisa
diucapkan Sumarni sambil terus menangis dalam sujud syukurnya disamping wanita
muda itu.
Sahabat Semua yang di sayang Allah SWT, kisah nyata diatas
diangakat dalam sebuah acara “reality show”, di salah satu satu stasiun
televisi swasta Indonesia. Ternyata dalam waktu dua hari, telah lebih dari
SERATUS TIGA PULUH orang yang dimintai tolong oleh Bu Inah untuk menolong
dirinya yang sedang ‘kelaparan’. Akhirnya Bu Sumarni-lah yang ‘terpilih’ secara
alami karena ia menolong dengan penuh keikhlasan hati.
Apa yang terjadi ketika kita menonton acara ini, disetiap
rumah termasuk di rumah kita, para penonton akan mengecam orang-orang yang
tidak mau menolong Bu Inah. Ada yang mengatakan ‘wah sayang ya, ia tidak mau
menolong…, wah bodoh sekali ya, ia tidak mau menolong Bu Inah…. Padahal yang
menolong akan mendapat rezeki besar, kenapa nggak mau menolong’… dsb… dsb.
Termasuk juga anak-anak kita, ketika menonton adegan
tersebut, mereka saling memberi komentar, kenapa banyak orang yang tidak mau
menolongnya. Padahal satu bungkus nasi akan diganti oleh jutaan rupiah, yang
nilainya mungkin lebih dari ‘seribu kali lipat’ dari harga nasi satu bungkus.
Sahabat Semua yang diberkahi Allah SWT, itulah indahnya
perilaku dalam kehidupan. Sebuah keikhlasan hati akan mempunyai nilai yang
sangat tinggi.”
“ Mengapa Bu Sumarni mendapat hadiah yang sangat besar ?“
karena ia melakukan tanpa pamrih. Ia lakukan karena di hatinya muncul rasa
peduli yang sangat dalam terhadap sesama karena ia juga pernah merasakan
penderitaan yang di alami bu Inah. Tidak ada sedikit pun di dalam hatinya,
ketika memberi, ia berangan-angan untuk mendapatkan yang lebih banyak!”
Perasaan tulus secara spontan itulah nilai Bu Sumarni.
Ia melakukan tindakan nyata dengan keikhlasan hati tanpa ingin dipuji tanpa
berharap mendapat balasan . Itulah keistimewaannya… maka iapun mendapatkan
suatu balasan yang jauh lebih besar tanpa diduga sebelumnya…”
Kejadian tersebut adalah suatu kejadian dari sebuah setting
acara yang memberi motivasi kepada pemirsa agar selalu berbuat baik tanpa
pamrih. Pasti akan mendapat balasan yang jauh lebih besar jika seseorang
melakukan dengan sebuah keikhlasan hati tanpa ingin dipuji.
Kalaulah kejadian itu hanyalah sebuah ‘rekayasa’ hebat dari
sang pencetus ide dan sang sutradara, maka bagaimana dengan kondisi kita yang
hidup dalam ‘Reality Show’ sesungguhnya ini ? Dunia malaikat seluruhnya
totalitas ‘menonton’ setiap perilaku kita. Mereka para Malaikat juga
menyayangkan sikap kita yang acuh tak acuh jika ada orang lain minta
pertolongan. Karena ditangan mereka ada amanah yang sangat besar dari Allah
untuk mencatat sekaligus memberi balasan yang sangat istimewa, tetapi sayangnya
kita tak memedulikan bahkan kadang tidak yakin akan adanya balasan itu.
Seluruh kita manusia di atas bumi ini sedang melakukan
kehidupan nyata. Setiap perbuatan kita selalu dilihat oleh Sang Pencipta dan
menyuruh Malaikat utusanNYA membawakan hadiah-hadiah (pahala) yang diminta
ataupun yang tidak diminta oleh kita yang melakukan kebajikan dan amal shaleh
dengan penuh ketulusan dan kepatuhan terhadap semua aturan hidup yang sudah
ditetapkan oleh Allah SWT. . Setiap gerak hati selalu dipantau oleh sang
Penulis scenario kehidupan. Sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan pasti
akan mendapat balasan. itulah kisah seorang Bu Sumarni, bagaimana dengan kita ?
MULIA kita dengan MEMBERI, ABADIKAN yang TERSISA dengan
SEDEKAH