paham wahabi

Bab I
Wahabi: Kebangkitan Berawal Pemurnian
PADA 11 September 2001 dunia dikejutkan dengan serangan nekad ke gedung kembar World Trade Center (WTC) –salah satu pusat bisnis dan perkantoran terbesar di dunia yang menjadi simbol keperkasaan ekonomi AS– di New York, dan markas militer AS Pentagon di Washington. Sesungguhnya serangan juga diarahkan ke White House namun keburu jatuh. Mungkin inilah serangan terdahsyat terhadap Amerika Serikat sejak Peristiwa Pearl Harbour.

Pembaca mungkin masih ingat dari buku pelajaran sejarah, bahwa pada tangal 7 Desember 1941 pasukan udara Angkatan Laut Jepang (Kaigun) menggempur pangkalan militer AS di situ. Hasilnya spektakuler, daya kejutnya luar biasa, sehingga rakyat AS mengenangnya sebagai Day of Infamy. Beberapa kapal perang tenggelam, kapal terbang dihancurkan selagi di darat dan sekitar 2.500 hingga 3.000 orang tewas. Peristiwa tersebut mendorong AS terlibat sebagai anggota Sekutu dalam Perang Dunia ke-2 (yang terjadi tanggal 1 September 1939 hingga 2 September 1945), yang berakhir dengan kemenangan Sekutu terhadap Poros –termasuk kekalahan Jepang.
Mungkin sulit membandingkan mana yang lebih spektakuler dari peristiwa tersebut. Peristiwa di Pearl Harbour berakibat AS terlibat di dalam kancah Perang Dunia ke-2 selama sekitar 3,5 tahun, adapun perang tersebut mengubah besar wajah dunia. Harap diingat bahwa Pearl Harbour bukan terletak di benua Amerika namun ‘hanya’ sebuah pangkalan militer di pos luar Amerika karena berada di sebuah pulau. Namun AS merasa sangat tersengat oleh serangan tersebut hingga rela terlibat ke dalam kancah peperangan yang mengerikan tersebut.
Peristiwa 11 September bukanlah terjadi di pinggiran wilayah AS tetapi di benuanya, boleh dibilang jantungnya negara tersebut. Siapapun pelakunya, target yang dipilih bukan sembarang: gedung kembar WTC boleh dibilang simbol kedigdayaan ekonomi AS, kantor Pentagon semacam simbol kedigdayaan AS di bidang militer. Tambahan pula, gedung WTC adalah target sipil, berbeda dengan Pearl Harbour yang memang pangkalan militer. Pangkalan militer memang masih layak untuk diserang. Inilah yang agaknya membuat pemerintah AS bersedia melaksanakan apa yang disebut dengan perang melawan teroris. Seberapa besar dampak perang tersebut –apakah kurang, sama atau lebih dibanding Perang Dunia kedua– agaknya masih perlu dibuktikan lebih lanjut.
Yang pasti, begitu ada peristiwa yang bercorak teror –karena target non militer sekaligus dengan korban sekitar 3.000 orang sipil– maka yang pertama dan utama menjadi fokus atau lebih tepat tersangka, adalah Islam dan tentu saja kaum Muslim. Ini bukan hal baru, sejak awal Islam –tepatnya ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup– telah terjadi bentrokan antara Muslim dengan (imperialisme) Barat, yaitu Bizantium. Ketika itu Bizantium menguasai wilayah Asia Barat dan Afrika Utara. Pasca Muhammad, kaum Muslim membebaskan wilayah tersebut dan pada 1453 menamatkan riwayat negara tersebut dengan merebut ibukotanya, Constantinople (kini bernama Istambul).
Perang salib (1095-1291) menghasilkan hubungan antara Muslim dengan Nashrani, terutama Barat, seakan terjun bebas ke titik nadir. Ketika kaum Muslim tampil ke “panggung dunia” dan dengan relatif cepat merebut jajahan Bizantium di Asia Barat dan Afrika Utara bahkan menyeberang ke Eropa, Barat menilai Islam/Muslim sebagai ancaman serius terhadap identitasnya. Kecemasan tersebut sempat mereda dengan sumbangsih kaum Muslim terhadap kemanusiaan dengan peradaban yang saat itu lebih canggih dari Barat. Walau (mungkin) ada rasa malu atau gengsi, dunia Barat belajar banyak kepada kaum Muslim sehingga menjadi cikal bakal kebangkitan Barat menuju kemajuan masa kini, yang lazim disebut Renaissance pada abad ke-16. Harap diketahui selama perioda 476–1492 Barat mengalami apa yang dinamakan zaman pertengahan. Capaian kemanusiaan yang pernah dicapai mereka saat kejayaan Yunani-Romawi boleh dibilang lenyap. Pada perioda tersebut, kolusi gereja-negara menghambat perkembangan intelektual di Barat. Setelah mengenal peradaban Timur, mereka bertekad berontak melawan kolusi tersebut.
Usai perang salib, hubungan Barat-Timur relatif pulih –terutama perdagangan- namun dendam masih berkelanjutan. Ini terbukti dengan usaha Barat menguasai dunia (lagi) melalui perang kolonial pada abad ke-16 yang masih ada saat ini.
Sejak Barat menilai Muslim sebagai ancaman identitasnya (dan peradabannya), kaum Muslim dicitrakan oleh Barat sebagai “barbar”, “fanatik” atau “kafir”. Citra ini diperkuat ketika perang salib dan perang kolonial. Sering waktu berjalan kaum Muslim mendapat citra tambahan semisal “ekstrimis”, “militan”, “fundamentalis” dan ….. “teroris”! Mereka giat mempropagandakan anti Islam bukan hanya sesama Barat namun juga keluar dunia Barat. Kecanggihan media massa mereka berakibat kaum non Muslim non Barat juga tergugah memihak Barat. Dapat disimak, nasib kaum Muslim semisal di Thailand, India dan RRC. Berbagai penindasan ditujukan terhadap kaum Muslim.
Sesungguhnya persekongkolan anti Islam oleh 2 kelompok non Muslim yaitu Barat dengan non Barat juga cerita lama. Hal tersebut telah terjadi pula sejak awal Islam. Dua kekuatan raksasa non Muslim yaitu Bizantium (Barat) dan Persia (non Barat) diam-diam sepakat meredakan permusuhan yang telah berlangsung lama dan sengit demi melawan Muslim. Bentrokan pertama dengan Bizantium terjadi ketika Muhammad masih hidup, bentrokan pertama dengan Persia terjadi pada perioda Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq (632-634). Persia takluk pada abad ke-7 itu juga dan Bizantium pada abad ke-15.
Ketika perang salib, imperialis Barat bersekutu dengan Kekaisaran Mongolia mengepung dunia Muslim. Pasukan Barat menyerbu pada abad ke-11 dan pasukan Mongol pada abad ke-13, yang jelas menimbulkan kerugian mengerikan bagi kaum Muslim. Entah berapa orang yang tewas, tak terbilang kerugian akibat pusat-pusat intelektual semisal madrasah dan pustaka yang berubah menjadi abu atau puing. Coba tengok kota-kota semisal Baghdad, Halab, Samarkand dan Bukhara. Semua adalah saksi bisu kejayaan dan keruntuhan peradaban Muslim.
Peristiwa 11 September juga mengingatkan orang dengan gerakan yang dinilai militan sejak abad ke-18 yaitu Wahhabi! Ini disebabkan bahwa beberapa tersangka pelaku serangan tersebut warga negara Arab Saudi, negara yang menetapkan Wahhabi sebagai faham resmi negara. Gerakan Wahhabi memang berasal dari wilayah yang kini masuk Arab Saudi. Walau pemerintah Arab Saudi dikenal dekat dengan Barat, namun ada saja di antara rakyatnya yang anti (hegemoni) Barat.
Sosok seorang (mantan) warga Arab Saudi yaitu Usamah bin Ladin adalah yang sangat dikenal anti imperialisme –terutama imperialisme Barat– ironisnya dia dahulu dekat dengan Barat saat melawan komunis dalam perang panjang dan kejam ketika Uni Soviet menduduki Afghanistan. Dia sempat dilimpahi metoda, dana dan senjata dari AS. Setelah Uni Soviet tamat, dia memasukkan AS ke dalam daftar musuhnya. Bagi dia AS juga musuh Muslim, namun dia menilai harus melawan komunis dahulu karena anti (semua) agama, kemudian giliran AS karena pro salibis-zionis. Dia mungkin sefaham dengan penulis bahwa non Muslim punya potensi sebagai musuh dan memang ada yang menjadi musuh dengan berbagai kelompok atau istilah semisal salibis, zionis, komunis atau paganis. Tidak cukup dengan itu, dia menilai rezim Saudi sebagai musuh (dalam selimut) bagi Islam karena mengizinkan pasukan AS berpangkalan di negeri itu. Akibatnya, dia dicabut kewarganegaraannya dan harus hengkang.
Ada lagi hal yang menambah daftar ironisnya, keluarga Bin Ladin dikenal dekat dengan rezim Saudi dan AS. Keluarga ini menjadi konglomerat dengan bisnis yang beragam serta investasinya yang tersebar di beberapa negeri termasuk AS. Keluarga ini turut menyumbang perluasan Masjidil Haram dan beberapa elit AS sempat “mencari makan” di perusahaan -yang kalau diusut-usut– adalah milik Dinasti Bin Ladin. Inilah yang menyebabkan Usamah sempat menikmati bulan madu dengan AS ketika perang melawan komunis.
Usamah membentuk organisasi bernama Al-Qa’idah yang kelak dinilai (atau dituduh) sebagai berfaham Wahhabi. Organisasi ini dinilai militan dan diduga memiliki jaringan dengan berbagai aktivis militan Muslim di berbagai negeri. Gejolak kaum Muslim di beberapa tempat semisal di Sinkiang, Chechnya, Kasymir, Bosnia, Pattani, Mindanao dan kawasan Asia Tengah begitu mudah dikaitkan dengan Al-Qa’idah: bahkan tanpa check and rechek.
Kesimpulan dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa fihak yang dinilai berfaham Wahhabi juga dapat berpecah-belah. Tak beda dengan kaum Muslim keseluruhan: berpecah-belah antara Suni dengan Syi’ah, antara Arab dengan Persia, Kurdi dan Turki, antara reformis dengan tradisionalis. Kesamaan ideologi antara Usamah dengan Dinasti Sa’ud tidak menjamin kesatuan antara mereka. Maka perlu ada suatu usaha untuk menyatukan kaum Wahhabi sebagai bagian dari mewujudkan ukhuwwah Islamiyyah dan menyebar faham Wahhabi kepada kaum Muslim.
A. Sekilas Asal Muasal Gerakan Wahabi
Gerakan Wahhabi tidak dapat dilepaskan dari seorang ulama asal Najad –tepatnya lahir di ‘Uyaynah- bernama Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Sebelum minyak ditemukan pada abad ke-20, kehidupan di Najad memiliki ciri khas gurun atau nomad. Kota-kotanya sedikit, wujudnya tak lebih dari pondok dari lumpur. Sebagian besar penduduknya hidup berpindah-pindah mencari lahan subur, dengan demikian mereka tidak punya atau tidak (mau) tunduk kepada kekuasaan yang terpusat. Sepanjang sejarahnya, peradaban canggih di Arabia sempat muncul di selatan, utara dan timur. Najad boleh dibilang terpencil. Semasa hidupnya wilayah utara, selatan, barat dan timur Arabia dikuasai oleh Kesultanan Turki ‘Utsmaniyyah (1299-1924). Selama berabad-abad praktis Najad bebas dari kekuasaan asing karena jauh dari pesisir dan didominasi gurun.
Dia berasal dari keluarga yang turun temurun menonjol dalam hal ilmu agama, tak heran jika dia tertarik menjadi ahlinya. Sejak remaja dia berda’wah di kampung halamannya, dan langsung menerima resiko dimusuhi.
Setelah berfikir sematang-matangnya dia pindah ke Dar’iyyah atau Dir’iyyah dan disambut dengan simpatik oleh Muhammad bin Sa’ud, seorang raja kecil yang kelak menjadi leluhur para raja Arab Saudi. Leluhur Bin Sa’ud menetap di Dar’iyyah sejak sekitar abad ke-16.
Boleh dibilang tidak ada yang baru dari da’wahnya. Dia hanya ingin kaum Muslim kembali memperlakukan agamanya berdasar sumber asli yaitu kitab dan sunnah. Ijtihad dilaksanakan jika tidak ditemukan dasarnya dari dua perkara itu –dan itu memang dibolehkan dalam agama. Tahap dalam memahami agama adalah tafsirkan ayat dengan ayat, tafsirkan ayat dengan hadits, dan pilihan terakhir adalah tafsirkan kasus dengan ijtihad.
Sebelum bertemu dengan Bin Sa’ud, dia merantau menuntut ilmu antara lain ke Madinah, Bashrah, Baghdad dan Qum bahkan konon ke Perancis. Hasil perantauan tersebut meyakinkan dia bahwa kebekuan dan penyimpangan kaum Muslim telah merata, bukan hanya di kampung halaman. Walau masyarakat kampung halaman adalah bangsa Arab –dan tentu berbahasa Arab– ternyata bukan jaminan mampu memahami agama dengan tepat.
Pertemuan atau duet 2M (Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dengan Muhammad bin Sa’ud) tersebut diperkuat oleh sumpah setia menurut Islam yang lazim disebut bai’at, inilah awal Revolusi Wahhabi (1744-1818). Boleh dibilang revolusi ini adalah awal kebangkitan Muslim. Bin Sa’ud dipilih sebagai raja dan Bin ‘Abdul Wahhab sebagai penasihatnya.
Pada periode tersebut boleh dinilai bertepatan dengan  gerakan di dunia Barat yang lazim disebut Aufklarung, gerakan ini boleh dibilang lanjutan dari Renaissance. Gerakan tersebut membuahkan 3 revolusi yang menentukan dunia yaitu Revolusi Industri (1769), Revolusi Amerika (1775-1783), Revolusi Perancis (termasuk Perang Napoleon) pada 1789-1815. Dampaknya luar biasa, hasil dari Aufklarung terasa pada abad ke-19. Untuk pertama kali Barat mengungguli Timur hingga kini, terutama dalam hal teknologi. Dan hal itu berdampak pada bidang sosio-religi, kemajuan teknologi Barat mempermudah usaha mereka menjajah: penjajahan semakin merajalela! Dengan penjajahan, Barat berpeluang memasukkan nilai-nilainya kepada Timur –yang disengaja atau tidak, cenderung merusak tatanan walau tentu harus diakui ada segi baiknya. Apa yang disebut kemajuan peradaban Barat yang dibawa ke Timur sesungguhnya adalah hasil pengembangan dari peradaban Timur semisal dari Mesir, Mesopotamia, Arabia, India dan Cina.
Ibnu ‘Abdul Wahhab dan Ibnu Sa’ud mungkin tidak tahu menahu tentang gejolak internasional tersebut di atas, wilayah Najad sedemikian terpencil akibat gurun yang luas. Hal tersebut juga agaknya yang menyebabkan mereka tidak atau belum berniat berda’wah ke arah non Muslim. Selain itu, Najad juga bukan wilayah yang berbatasan dengan wilayah non Muslim. Mereka menyaksikan bahwa masyarakat kampung halaman sendiri butuh da’wah, maka strategi yang tepat dipakai –minimal untuk beberapa lama– adalah mengislamkan orang yang sudah Islam. Kaum Muslim kembali dituntun atau dituntut, untuk kembali mengenal agamanya sendiri sesuai dengan kitab dan sunnah. Namun kelak seiring perjalanan waktu gerakan Wahhabi berbenturan dengan imperialisme Barat yang bangkit seiring dengan kebangkitan intelektualnya, hingga saat ini.
Penulis sempat menyimak karya tulisnya yaitu “Kitab Tauhid”, penulis menilai bahwa buku tersebut mencerminkan apa yang harus disampaikan kepada masyarakat kampung halamannya. Masyarakat Najad terbilang primitif saat itu sehingga pesan-pesan agama dituntut sederhana, bahkan bukunya terkesan ‘menggurui’, seakan-akan (atau benar-benar) dia menilai masyarakatnya terbelakang.
Buku tersebut membahas tentang keharusan memurnikan sikap terhadap agama semisal larangan syirik dengan segala percabangannya, antara lain larangan menggunakan jimat dan mengkeramatkan kubur. Nyatalah bahwa buku tersebut menjadikan kaum Muslim sebagai sasaran bidik.
Gerakan Wahhabi menerapkan dua metode da’wah yaitu da’wah bil lisaan (da’wah dengan bicara) dan da’wah bil haal (da’wah dengan tindakan). Selain khutbah di masjid juga mulai merusak berbagai lokasi yang dinilai keramat oleh umat. Di Najad ada beberapa kubur, gua dan pohon yang dikeramatkan, baginya perilaku tersebut tiada beda dengan menciptakan atau menghadirkan kembali suasana pra Islam. Jika terus dibiarkan, bukan mustahil Islam tidak disebut-sebut lagi, apalagi diamalkan.
Larangan meminta-minta di situs keramat, dan perusakan berbagai situs keramat, tak pelak lagi membangkitkan kemarahan masyarakat. Namun duet 2M tidak peduli. Mereka bertekad mewujudkan niatnya dengan manis, bahkan dengan pahit jika perlu. Untuk itu pasukan perlu dibentuk dan didampingi mubaligh atau da’i. Selain membimbing para prajurit, para guru agama juga memberi tuntunan kepada masyarakat di suatu tempat yang telah ditaklukan oleh tentara.
Demikianlah, ketika Bin Sa’ud wafat pada 1765 sebagian besar Najad telah ditaklukan kaum Wahhabi.
Putranya yaitu ‘Abdul ‘Aziz dipilih menggantikan Bin Sa’ud. Setelah Najad ditaklukan, Provinsi al-Hasa –terletak di pantai Teluk Persia- menjadi target berikutnya. Mayoritas pantai timur Arabia adalah Muslim Syi’ah. Syi’ah muncul pada abad ke-7 saat terjadi perang saudara kaum Muslim antara ‘Ali bin Abu Thalib dengan Muawiyyah bin Abu Sufyan karena perebutan kekuasaan sebagai khalifah, yaitu sebutan bagi pengganti “fungsi” Nabi Muhammad sebagai kepala negara. Syi’ah berpendapat bahwa hak kekhalifahan adalah berasal dari keturunan Muhammad via putrinya yaitu Fathimah az- Zahra dengan ‘Ali. Dua kelompok Muslim lain yaitu Suni dan Khawarij berpendapat bahwa khalifah dipilih berdasar pemilu. Persoalan politik tersebut akhirnya merambah ke bidang ritual dan akidah.
Kaum Syi’ah berfaham mengeramatkan tokoh tertentu dan kuburnya, tempat-tempat yang dinilai suci oleh Syi’ah banyak terdapat di ‘Iraq dan Iran. Dua negeri tersebut memang mayoritas Syi’ah. Di Indonesia, pengaruh Syi’ah nampak pada perayaan Tabut di Sumatera Barat dan Bengkulu. Perayaan tersebut untuk mengenang pembantaian cucu nabi yaitu Hussayn bin ‘Ali bin Abu Thalib oleh pasukan Kerajaan Ummayyah di Karbala, kini masuk wilayah ‘Iraq.
Setelah aktivis Wahhabi menaklukan Hasa, pandangannya tertuju pada ‘Iraq. Hasrat menaklukan negeri tersebut berakibat mereka dikenal terutama di dunia Muslim, dalam arti menghebohkan. Ketika itu ‘Iraq masuk wilayah Kerajaan Turki ‘Utsmaniy, negara terkemuka di dunia Muslim. Walau sejak abad ke-17 negara tersebut melemah, namun tetap dipandang dengan hormat oleh kaum Muslim, mengingat tempat-tempat suci utama Muslim yaitu di Hijaz –lazim disebut Haramayn- dan Palestina juga masuk wilayah ‘Utsmaniy. Lagi pula Turki termasuk negara Muslim besar selain Persia, Moghul-India dan Marokko.
Pasukan Wahhabi menyerbu ‘Iraq pada tahun 1801, kota-kota suci semisal Bashrah, Kufah dan Karbala direbut. Di Karbala, terdapat kubur Hussayn bin ‘Ali bin Abu Thalib. Pasukan Wahhabi menjarah, merusak dan membunuh di kota tersebut. Sekitar dua tahun kemudian mereka menyerbu Hijaz – tempat suci sebagaimana tersebut di atas. Beberapa tempat yang dikeramatkan ada yang dirusak, selebihnya hanya dijaga dari upaya perilaku syirik dan bid’ah semisal makam nabi di Madinah. Adapun rumah tempat lahir Muhammad kini beralih fungsi menjadi pustaka.
Serbuan ke jantung dunia Muslim menyentakkan dunia, yang paling cemas adalah Turki. Tidak diduga bahwa gerakan yang pada awalnya dinilai hanya sebagai konflik ala nomad -yang lazim terjadi di wilayah steppa atau gurun terkait masalah perebutan lahan subur– ternyata menjadi semacam kebangkitan dengan ideologi yang jelas. Walaupun sama-sama berfaham Suni, Turki tidak menerima penguasaan Haramayn di pegang Wahhabi, atau siapa pun selain dirinya. Mau ditaruh di mana muka di hadapan dunia –terutama Muslim– jika kekuasaan di Haramayn terlepas? Lagipula, kaum Wahhabi menilai bahwa pemerintah Turki kurang Islami sehingga tidak layak menjadi pemimpin dunia Muslim. Kaum Syi’ah sama cemasnya jika Haramayn dikuasai Wahhabi, mereka hampir pasti dipersulit atau dilarang untuk datang padahal haji termasuk rukun Islam dan hanya dapat dilaksanakan di Haramayn. Penyerbuan ke ‘Iraq yang dinilai begitu kejam belum lama berselang sebelum ke Hijaz masih segar dalam ingatan.
Turki ingin bertindak namun terhadang masalah. Pembusukan di dalam dengan begitu banyak perselingkuhan –sebagaimana dikritik kaum Wahhabi- dalam mengelola negara dan penyerbuan balik oleh bangsa-bangsa Eropa berakibat sulit menghimpun pasukan. Karena itu tugas menumpas gerakan Wahhabi diserahkan kepada Mesir, wilayah setengah merdeka dalam naungan Turki. Penguasanya bernama Muhammad ‘Ali Basya atau Pasya.
Muhammad ‘Ali melantik putranya yaitu Tursun atau Tusan sebagai panglima operasi penumpasan. Dia bergerak pada tahun 1816.
Ibnu ‘Abdul Wahhab wafat pada 1792 dan ‘Abdul ‘Aziz menyusul tak lama setelah penaklukan Haramayn. ‘Abdul ‘Aziz diganti oleh Sa’ud, yang wafat pada tahun 1814. Putra Sa’ud yaitu ‘Abdullah terpilih menjadi pemimpin gerakan, dan dialah yang menghadapi serbuan pasukan Mesir.
Pergantian secara turun temurun dari Muhammad bin Sa’ud –bahkan hingga kini– menunjukkan bahwa gerakan Wahhabi sekian lama belum menyentuh pembenahan di bidang politik. Sistem yang jelas-jelas monarki terkesan sejauh ini dibiarkan, padahal Islam memiliki konsep memilih pemimpin melalui pemilu, artinya Islam lebih berfaham republik dibandingkan monarki. Konsep monarki cenderung membatasi peran politik hanya kepada kelompok tertentu –katakanlah keluarga tertentu– yang jelas memperkecil peluang umat kebanyakan untuk turut serta.
Kini dapat kita saksikan bahwa para pemegang jabatan yang terkait dengan negara atau politik di Kerajaan Arab Saudi hampir semua dari Keluarga Sa’ud. Baru beberapa tahun terakhir ini terdapat gejolak di dalam negeri tersebut yang dilaksanakan oleh individu atau kelompok berfaham Wahhabi pula yang mengkritisi sistem monarki. Yang sejauh ini menonjol tentu saja Usamah bin Ladin, dia bertekad menghapus sistem tersebut, bila perlu dengan kekerasan. Usamah agaknya cenderung mengutamakan pembebasan kaum Muslim yang cenderung dizhalimi oleh non Muslim berikut antek-anteknya dalam kaum Muslim, sehingga ada perbedaan dengan skala prioritas dengan Ibnu ‘Abdul Wahhab, yang mengutamakan pembenahan dalam ritual dan akidah sekaligus kurang membenahi ranah politik.
Kembali ke usaha penumpasan, tujuan pokok adalah merebut Haramayn, kota-kota Makkah dan Madinah direbut nyaris bersamaan. Pasukan Wahhabi mundur dari Hijaz dan Muhammad ‘Ali bertekad mengejar ke pusatnya. Putranya yang lain yaitu Ibrahim dipilih untuk bergerak ke Najad
Pasukan Mesir butuh waktu sekitar dua tahun untuk merebut Dar’iyyah. Walau kalah canggih, pasukan Wahhabi mampu merepotkan pasukan Mesir. Begitu pertahanan Wahhabi ditembus, pasukan Mesir meratakan Dar’iyyah, merusak lahan pertanian di sekitarnya, mengusir keluarga Sa’ud dan menangkap ‘Abdullah. ‘Abdullah dibawa ke Istambul dan dihukum mati. Berakhirlah revolusi pertama Wahhabi.
Penumpasan di bidang militer dan politik digerakkan bersamaan dengan penumpasan di bidang ritual dan teologi. Banyak ulama dikerahkan untuk memfitnah Wahhabi. Ibnu ‘Abdul Wahhab difitnah sebagai keturunan Mussaylamah al-Kadzdzab, seorang nabi palsu yang tampil pasca wafatnya nabi Muhammad SAW. Fitnah tersebut cukup ampuh karena mereka berdua sama-sama asal Najad. Anti keramat kubur difitnah sebagai anti ziarah kubur, anti wasilah difitnah sebagai anti ulama.
Mengingat Turki menguasai jantung dunia Muslim, fitnah tersebut sempat laris di dunia Muslim, termasuk di Indonesia. Hal tersebut dimungkinkan karena kaum Muslim melaksanakan ritual haji atau belajar agama di Haramayn. Namun gerakan Wahhabi tak dapat ditumpas-tuntas, secara berangsur gerakan tersebut melangkah ke luar Arabia. Di Arabia sendiri, gerakan tersebut muncul kembali pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdul Rahman al-Sa’ud mengobarkan revolusi Wahhabi mirip dengan Muhammad bin Sa’ud, dia persatukan suku-suku –sering dengan kekerasan– sekaligus perang melawan Turki. Ketika itu rasa tak puas terhadap Turki nyaris merata di Arabia.
Tokoh lain yaitu Syarif Hussayn bahkan merasa perlu bersekutu dengan Inggris untuk melawan Turki ketika Perang Dunia ke-1 (1914-198), dia lebih tepat dinilai dimanfaatkan. Inggris menjanjikan dia sebagai raja bukan hanya di Arabia namun juga mencakup Syam –kini mencakup Suriah, Palestina, Libanon dan Yordania– serta Mesopotamia, yang kini mencakup ‘Iraq dan Kuwait. Dengan senjata dan sejumlah perwira Inggris dia sukses mengusir pasukan Turki. Ketika usai perang, Inggris membiarkan dia perang sendirian dengan ‘Abdul ‘Aziz. Inggris mengkhianatinya dengan cara membagi wilayah dengan Perancis dan memasukkan kaum zionis ke Palestina. ‘Iraq, Kuwait, Yordania dan Palestina menjadi mandat Inggris; Libanon dan Suriah menjadi mandat Perancis.
Mandat adalah istilah halus untuk jajah atau caplok. Akibatnya, ‘Abdul ‘Aziz sukses merebut Haramayn dan Syarif Hussayn lari Yordania dan berkuasa turun temurun di situ dengan nama Dinasti Hasyimiyyah. Pada tanggal 23 September 1932 ‘Abdul ‘Aziz mengumumkan pembentukan Kerajaan Arab Saudi dengan ibu kota Riyadh, masuk Provinsi Najad dan menyatakan Wahhabi sebagai ‘faham’ resmi negara. Tercapailah tujuan duet 2M pada abad ke-18 tersebut setelah perjuangan yang berdarah-darah.
B. Kerajaan Arab Saudi
Raja ‘Abdul ‘Aziz al-Sa’ud berkuasa hingga wafat pada 1953. Dia mempraktekkan poligami –suatu hal yang lazim di negeri itu- hingga banyak anaknya. Anak-anaknya kelak memegang jabatan dalam negara Saudi. Dia melaksanakan modernisasi sedemikian cermat namun tetap tak terhindarkan perselisihan dengan sesama aktivis Wahhabi. Mereka cemas jika modernisasi –yang ketika itu atau bahkan hingga kini dinilai identik dengan Westernisasi– akan melunturkan nilai-nilai asli berupa keislaman dan ketimuran.
‘Abdul ‘Aziz mencoba berjalan di tengah: melaksanakan modernisasi sekaligus memberlakukan syari’at Islam. Agaknya dia sadar, bahwa jika Arabia dibiarkan apa adanya maka jelas akan tertinggal jauh dengan yang lain dan hampir pasti akan diremehkan. Dia sadar pula, bahwa dia hidup di zaman Barat sedang di atas angin dengan kemajuan teknologinya. Maka tak ada pilihan selain belajar kepada Barat sambil sedapat mungkin menyaring pengaruh buruknya. Pilihan dia tertuju kepada Amerika Serikat. Berdasar Truman Principle pada 1948 AS mengirim Armada ke-6 ke jazirah. Inilah asal muasal kedekatan Saudi-AS hingga kini, yang kelak dipersoalkan oleh warga Saudi sendiri semisal Usamah.
Perusahaan minyak dari AS diundang untuk menggali minyak dari bumi Arab Saudi, kita mengenal perusahaan Arabian American Oil Company. Dalam waktu relatif singkat untuk ukuran negara, Arab Saudi berubah penampilan dari zaman batu ke zaman komputer.
Posisi Arab Saudi di level internasional cukup diperhitungkan, hal tersebut tertolong oleh tiga hal, yaitu jantung dunia Muslim –umat yang mengisi dunia sejumlah 16% atau umat terbesar kedua, letak negeri yang strategis, semacam posisi silang, dan kekayaan minyak, walau perlu diwaspadai bahwa minyak adalah sumber alam yang tak dapat diperbaharui (unrenewable resources). Pemerintah agaknya sadar dengan posisi tersebut antara lain bahwa banyak fihak yang tergoda menyebar pengaruh atau menaklukan sekalian. Soal usaha penaklukan bukan hal baru di Asia Barat atau lazim disebut Timur Tengah, sejak awal peradaban manusia wilayah tersebut diperebutkan oleh berbagai bangsa.
Hingga kini Timur Tengah masih memiliki nilai penting ditinjau dari banyak segi. Mestinya kaum Muslim –umat mayoritas di Timur Tengah- menyadari bahwa hal tersebut adalah nikmat tuhan yang harus diperlakukan dengan cermat: mensyukurinya antara lain dengan melaksanakan agamanya dan mempertahankan wilayahnya. Namun yang nyata tidaklah yang semestinya, kaum Muslim terpecah belah hingga lemah mempertahankan wilayah serta lalai beragama hingga lemah mempertahankan akidah. Agaknya ini menjadi tugas kaum Wahhabi sedunia membina kaum Muslim di segala bidang hingga memiliki posisi tawar menawar yang kuat terhadap non Muslim. Kaum Muslim tidak boleh dibiarkan terus menerus “di bawah angin”, keadaan demikian mendesak untuk membangkitkan Muslim dari ketertinggalan dan mungkin hal-hal yang harus dibenahi (terpaksa) dilaksanakan sekaligus.
Zaman kita jelas berbeda dengan zaman ketika Muhammad bin ‘Abdul Wahhab tampil. Ketika itu, belum banyak dunia Muslim jatuh dalam cengkeraman non Muslim –fisik maupun non fisik– hingga dia relatif mudah menetapkan skala prioritas, dia benahi dulu hal ritual dan akidah. Namun pada zaman kita penjajahan non Muslim telah melanda seantero dunia Muslim, jika tidak kasar ya halus, pokoknya ada penjajahan, belum lagi perilaku Muslim yang sadar tak sadar menjadi antek. Kaum Wahhabi agaknya dituntut untuk membenahi semua sekaligus dalam saat bersamaan, termasuk politik dan ekonomi, jelas ini pekerjaan sulit namun apakah ada pilihan lain

Post a Comment

0 Comments