Pesantren Perlu Regulasi, Manajemen dan Kurikulum


cormecem@yahoo.co.id
Dilihat level kebutuhannya, dua buku; Pedoman Pengembangan Kurikulum Pesantren dan Pedoman Penyelenggaraan Pesantren Salafiyah yang akan diterbitkan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren menjadi kebutuhan yang niscaya, kebutuhan yang mau tidak mau harus dipenuhi. Jika tidak dipenuhi akan menjadi disfungsi.

Demikian dikatakan H. Choirul Fuada Yusuf, Direktur Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren dalam “Halaqah Pesantren” yang diselenggarakan hasil kerjasama LeKDIS Nusantara dengan Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI.


Lebih lanjut, Pak Fuad menjelaskan bahwa kalau dipotret secara luas kebutuhan diniyah dan pondok pesantren, diantarannya adalah; pertama, kebutuhan akan regulasi/tata aturan. Hingga saat ini, tegas pria yang pernah nyantri dikampung sendiri ini menjelaskan bahwa pesantren yang secara historis yang sudah ada 700 tahun yang lalu (abad 13), baru secara regulatif terformalkan setelah ada Undang-Undang No. 20 th 2003 dan PP No. 55 th 2007 tentang pendikan agama dan keagamaan. Kata pesantren terakomodir, tersurat, terlihat jelas, dan ada; bagaimana dan untuk apa pesantren itu berada. 

Pesantren, tegas Fuad, telah memberikan kontribusi politis, kultural terhadap bangsa namun secara politis baru diakui aspirasinya baru. Oleh sebab itu secara manajerial, memang pantas kalau memang masih banyak kebutuhan-kebutuhan yang harus dibenahi. Jadi Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren ini babad alas selama 7 tahun terakhir.

Kedua, dikarenakan baru, papar Fuad, maka kebutuhan selanjutnya adalah manajemen. Karena memang manajemen pesantren lahir dari, oleh dan untuk  masyarakat, wajarlah kalau manajemennya sangat bervariasi. Manajemen di pesantren pada saaat ini masih cenderung kharismatik, personal base, berbasis kyai. Kalau kyainya lulusan Ciwaringin Babakan misalnya, maka gaya manajemen, pradignma, perspketif dan jiwanya, gaya Ciwaringin.

Menurut studi sosiologis, papar pria yang berasal dari kota mendoan, Purwokerto ini, semua tujuan pesantren dan program berdasarkan cara pikir, keinginan, berdasarkan kyainya. Jadi manajemen yang dilakukan masih cenderung seadanya, variatif, belum berdasarkan spesialisasi, belum melakukan kompatentisasi, serta belum ada pembagian kerja.

Ketiga, kebutuhan akan kurikulum. Kurikulum di pesantren masih berbasis kyai, kharismatik, yang berimpilikasi kepada siapa yang mengajarnya dan tergantung pada izin kyai. Penataan kurikulum juga masih seadanya dan belum didasarkan kepada kebutuhan yang berkembang. Kalau kyainya senang membaca kitab tertentu, maka kitab tertentu itulah menjadi kurikulum utamanya. (pip)

Post a Comment

0 Comments