Perjalanan NU telah
berumur 87 tahun. Masa yang cukup panjang, yang secara otomatis telah merasakan
pahit-manis berorganisasi, baik di internal organisasi maupun perannya dalam
mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perjalanan NU sebagai
organisasi masyarakat berbasis keagamaan telah meneguhkan dirinya selama 87
tahun. Sebuah perjalanan panjang, yang secara otomatis telah merasakan
manisnya, sekalipun juga pahitnya tidak sedikit menerpa organisasi yang lebih
dikenal –mengutip peneliti luar-- sebagai komunitas Islam tradisional, baik di
internal organisasi maupun perannya dalam mengisi kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Tepatnya tanggal 31
Januari dinobatkan sebagai kelahiran NU. Pasalnya, pada tanggal yang sama tahun
1926 para pendiri NU yang bergabung dalam komite Hijaz merancang sekaligus
melakukan protes terhadap penguasa Arab Saudi berideologi Wahabi untuk tetap
menghormati ajaran Islam lain, terutama ajaran yang dianut oleh Islam
Sunni.
Pada momentum kali
ini, berbagai peringatan tahunan dilakukan baik di pusat maupun cabang-cabang
dengan ragam ekspresi. Tidak ada tujuan lain kecuali rasa syukur hingga NU
sampai hari ini tetap ada. Lagi-lagi berkat ketulusan para pendiri NU dengan
konsistennya menjaga keberlangsungan nilai-nilai Islam Ahl al-Sunna wa
al-Jama’ah (Aswaja) di bumi nusantara dan belahan dunia pada umumnya.
Namun, dalam benak
penulis terbesit pertanyaan, mengapa aku sampai hari ini tetap bertahan sebagai
warga NU (Nahdliyin)? Pertanyaan ini sangat mungkin dialami oleh anak-anak muda
NU (struktural/kultural) di tengah-tengah kehidupan beragama yang semakin
kompleks, belum lagi arus global yang diakui atau tidak turut mempengarui cara
pandang warga NU dalam melihat kenyataan hidup.
Kontestasi ideologis
dengan komunitas Islam lain (radikal) nampaknya menjadi ancaman bagi NU. Tidak
sedikit, mahasiswa yang lahir dari kultur NU akhirnya ikut-ikutan forum kecil
yang jelas-jelas berafiliasi dengan Islam radikal. Belum lagi, upaya mereka
merebut paksa aset-aset NU, seperti masjid dan mushallah, tanpa memperhatikan
bahkan menghargai kearifan nilai-nilai lokal masyarakatnya.
Menggugat peribadatan
NU makin nyaring di mana-mana, padahal harus diakui tidak jarang pelakunya
adalah anak warga atau bahkan pengurus NU. Nampaknya, pragmatisme sesaat, baik
finansial atau dalam bentuk beasiswa ke luar negeri, menjadi penyebab utama
–bukan satu-satunya-- kader-kader NU hengkang ikut komunitas Islam radikal dan
memutus mata rantai paham Aswaja melaui gugatannya kepada ritual-ritual NU,
seperti pembid’ah-an pada tradisi Maulid Nabi dan lain-lain.
Teks dan Lokalitas
Kiai
Menjadi Nahdliyin
saatnya harus dalam konteks kesadaran, bukan ikut-ikutan atau paksaan. Dengan
cara ini perasaan puas diukur sejauh mana kita dapat mencari tahu mengapa NU
sampai hari ini tetap penting. Karenanya, ada dua alasan pokok yang mendorong
penulis sampai hari ini tetap bertahan sebagai warga Nahdlyin. Pertama, pemahaman
keagamaan yang selalu mengedepankan toleransi dan moderasi.
Dari awal berdirinya
hingga saat ini, NU selalu berada digarda depan sebagai organisasi yang
menjunjung tinggi toleransi kepada agama lain. Melalui kiai-kiai pesantren
aurah NU semakin menyejukkan sebab dari merekalah pemahaman agama ditafsirkan
--berdasarkan kitab kuningnya-- terasa membuat sejuk umat yang dihadapinya
bukan hanya kalangan Islam, tapi juga komunitas lain.
Ada kombinasi
pemahaman teks dengan lokalitas yang selalu terjadi secara harmoni, bukan
saling “menikam”. Pilihan pendekatan fikih-sufistik—meminjam istilah Gus
Dur—menjadikan konkluasi dari pemahaman keagamaan kalangan pesantren tidak
sekedar formalistik–yang menjadi karakter fikih, tapi juga mengedepankan isi.
Sebuah sikap serba kehati-hatian, demi menjaga harmoni umat yang beragam.
Berbeda dengan mereka
yang melihat persoalan dengan kaca mata fikih an sich. Kecenderungannya adalah
formalistik, mudah mengharamkan tradisi lokal yang tidak pernah ada pada zaman
Nabi. Bahkan, yang lebih parah lagi, di antara mereka mengkafirkan pelakunya.
Pilihan ini yang kemudian dikenal dengan kelompok penghamba teks (abd
al-nushus), yaitu kelompok yang mengukur seluruh kebenaran agama dengan
teks semata, tanpa menimbang tujuan disyariatkannya (maqasid shari’ah).
Kedua, peran keulamaan
yang menjadi sentral dari keberlangsungan organisasi NU. Menurut penulis,
munculnya kiai Hasyim Asy’ari, kiai Wahab Hasbullah dan beberapa tokoh
pesantren awal lainnya dalam mendirikan NU cukup mengantarkan keberadaan NU
diperhitungkan dan memiliki kewibawaan, baik dalam komunitasnya sendiri maupun
komunitas lain.
Konsistensi serta
ketulusan dalam menggerakkan NU–dilakukan oleh para pendiri–menjadi simbol
perlawanan ideologis untuk mempertahankan nilai-nilai Aswaja dari setiap anasir
asing (kelompok radikal). Tak anyal, para pendiri NU tetap menggunakan kitab
kuning sebagai referensi, sekalipun dianggap tradisional. Tradisional dalam
berproses, tapi hasilnya tidak bertentangan dengan nilai modern. Itulah gaya
kiai pesantren, misalnya penerimaan NU atas Pancasila sebagai ideologi
bangsa.
Peran keulamaan ini
harus tetap dijaga agar Nahdliyin merasa ter-ayomi. Kehadiran kiai-kiai
pesantren yang konsisten dan tulus dalam struktur NU akan menambah nilai juang
NU bergelora untuk mendampingi warganya, bukan mereka yang selalu berpolitik
--jangka pendek-- dengan mengatasnamakan NU. Jika NU dituntut berpolitik, maka
politik kebangsaan yang harus dikedepankan agar antar Nahdliyin tetap harmoni.
Akhirnya, sebagai
Nahdliyin berharap NU kedepan tetap menjaga idealismenya sebagai organisasi
keagamaan yang tetap bertahan dalam tradisi di satu sisi dan tetap meneguhkan
NKRI sebagai pilihan di sisi yang berbeda. Kader-kader yang berkesadaran dengan
dibingkai ketulusan peran itulah yang dapat mengawal konsistensi ideologis di
atas, bukan kader yang ikutan-ikutan apalagi hanya mengambil “keuntungan”
semata. Semoga.
WASID MANSYUR :
* Penulis
adalah Pengajar di STAMIDIYA Bangkalan; Pengurus PESMA IAIN
Sunan Ampel Surabaya