§ Mencuci
telinga, atau memasukkan tetesan ke dalam hidung, atau oksigen yang dimasukkan
melalui hidung apabila bagian yang masuk tenggorokan tidak ditelan.
§ Pil-pil
pengobatan yang diletakkan di bawah lidah untuk pengobatan sariawan atau
lainnya juga tidak membatalkan puasa selagi dihindari masuknya ke dalam
tenggorokan.
§ Memasukkan
alat perekam ke lobang vagina, atau jari untuk pemeriksaan. [Fatawa Al-Lajnah
Ad-Da’imah, 10/172]
§ Memasukkan
alat pelihat atau spiral atau yang serupa dengannya ke dalam rahim.
§ Benda
yang dimasukkan ke lobang air seni, maksudnya; pipa yang dimasukkan ke lobang
tempat aliran air seni pada zakar atau vagina, atau benda yang dihubungkan
dengan sinar atau obat, atau tempat untuk membersihkan wadah air seni.
§ Melobangi
gigi atau mencopot gigi geraham atau pembersihan gigi atau bersiwak dan
bersikat gigi asal dihindari tertelannya sesuatu ke dalam tenggorokan.
§ Kumur-kumur
dan oksigen buatan yang dilakukan di mulut asal dihindari tertelannya sesuatu
ke dalam tenggorokan.
§ Injeksi
pengobatan di tubuh atau pada otot atau pembuluh darah, selain infus pengganti
makanan.
§ Gas
oksigen.
§ Gas
pembius yang tidak diberi bahan cair sebagai suplemen.
§ Benda-benda
yang diserap kulit, seperti bahan cairan atau minyak angin atau benda tempelan
lainnya yang mengandung bahan medis atau kimia.
§ Memasukkan
selang (pipa kecil) ke urat-urat untuk kepentingan pemotretan atau pengobatan
rongga jantung atau anggota badan lainnya.
§ Memasukkan
alat untuk melihat yang dimasukkan ke bagian luar lambung untuk pemeriksaan
atau operasi medis.
§ Mengambil
bintik atau bendul-bendul yang ada di dalam hati atau lainnya selagi tidak
dibarengi dengan bahan cairan suplemen.
§ Alat
yang digunakan untuk melihat pencernaan bila dimasukkan tidak dibarengi dengan
bahan-bahan suplemen atau benda lainnya.
§ Masuknya
alat atau benda medis ke otak atau sumsum.
§ Hendaknya
seorang dokter muslim selalu memberi nasihat kepada pasien untuk menunda
hal-hal yang tersebut di atas yang tidak berbahaya atas penundaannya sampai
waktu berbuka tiba, karena hal yang demikian itu lebih berhati-hati. [Qararat
Majma’ Al-Fiqh Al-Islami, h. 213]
§ Barangsiapa
yang makan atau minum secara sengaja di siang Ramadhan tanpa ada uzur, maka ia
telah melakukan salah satu dosa besar; maka ia wajib bertobat dan mengganti
puasanya. Dan jika yang dimakan atau diminum itu benda haram, seperti minuman
keras, maka dosanya lebih besar dan keji lagi. Maka ia wajib segera bertobat
dengan sungguh-sungguh dan memperbanyak melakukan amalan-amalan sunnah berupa
puasa dan lainnya, agar ia dapat menutup kewajiban yang dinodainya dan agar
Allah berkenan memberinya tobat atasnya.
§ “Barangsiapa
lupa, lalu makan atau minum, maka hendaknya terus berpuasa, karena sesungguhnya
ia diberi makan atau minum oleh Allah.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Al-Fath,
no. 1933] Di dalam riwayat lain disebutkan: ”Maka tidak wajib mengqadha’
atau membayar kaffarat baginya.” Apabila anda melihat orang yang sedang
berpuasa makan karena lupa, maka hendaknya anda ingatkan, karena luasnya
cakupan firman Allah subhanahu wata'aala : وَتَعَاوَنُواْ عَلَى البر والتقوى “Dan
saling tolong menolonglah kamu di dalam kebajikan dan taqwa.” Dan karena
juga luasnya cakupan hadits Rasulullah: فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي. “Apabila
aku lupa, maka ingatkanlah aku” Dan karena pada dasarnya hal tersebut
adalah merupakan suatu kemunkaran yang wajib diubah. [Majalis Syahr Ramadhan,
Ibnu Utsaimin, h. 70]
§ Orang
yang harus berbuka (membatalkan puasanya) karena harus menyelamatkan seseorang
dari kebinasaan, maka ia boleh berbuka dan nanti harus menggantinya;
sebagaimana seperti harus menyelamatkan orang yang tenggelam dan memadamkan
kebakaran.
§ Orang
yang wajib berpuasa lalu melakukan hubungan suami istri (senggama) dengan
sengaja dan sadar (tidak terpaksa) di siang bulan Ramadhan, maka ia telah
membatalkan puasanya, apakah keluar sperma ataupun tidak. Maka ia wajib segera
bertobat dan menyempurnakan puasa hari itu dan wajib pula menggantinya serta
wajib membayar kaffarat yang sangat berat. Di dalam hadits Abi Hurairah
radhiyallahu ‘anhu dituturkan: Ketika kami sedang duduk di sisi Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam seketika datang seorang lelaki, lalu berkata,
“Wahai Rasulullah, celaka aku!” Nabi bertanya, “Kenapa?” Ia menjawab, “Aku
terlanjur melakukan jima’ terhadap istriku padahal aku sedang berpuasa.” Maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah kamu punya hamba
sahaya yang bisa kamu merdekakan?” Ia jawab, “Tidak.” Lalu Nabi bersabda,
“Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut?” Lelaki itu menjawab,
“Tidak.” Nabi bersabda, “Apakah kamu mampu memberikan makan kepada 60 orang
miskin?” Orang itu menjawab, “Tidak” (Al-Hadits). [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari,
Al-Fath, no. 1936] Demikianlah hukumnya, dan begitu pula sama hukumnya
bagi orang berbuat zina, homoseks dan menyetubuhi binatang. Dan barangsiapa
yang melakukan persetubuhan berulang kali di hari-hari Ramadhan, maka ia wajib
membayar kaffarat sebanyak hari pelanggarannya, ditambah dengan mengganti puasa
hari-hari itu, dan tidak ada alasan baginya untuk tidak membayar kaffarat
sekalipun karena ketidakmengertiannya terhadap kewajiban kaffarat. [Fatawa
Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/321]
§ Jika
seseorang ingin melakukan persetubuhan terhadap istrinya, lalu terlebih dahulu
ia membatalkan puasanya dengan makan, maka kemaksiatannya lebih besar, karena
ia telah menodai kehormatan bulan suci Ramadhan dua kali, yaitu dengan makan
dan persetubuhannya. Dan kaffaratnya berat dan lebih pasti, dan cara tipu
dayanya menjadi malapetaka bagi dirinya dan ia wajib melakukan tobat yang
sejati. [Lihat Majmu’ Al-Fatawa, 25/262].
§ Mencium,
bercumbu, bersentuhan tubuh dengan istri, berpelukan dan memandang istri atau
hamba sahayanya berulang-ulang itu boleh saja selagi dapat mengendalikan
nafsunya. Di dalam hadits Shahih Al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau menuturkan: “Bahwasanya Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam mencium (nya) di saat sedang berpuasa, dan bersentuhan tubuh
di saat beliau berpuasa pula, akan tetapi Nabi adalah orang yang sangat bisa
mengendalikan nafsunya.” Adapun hadits yang berbunyi: يَدَعُ زَوْجَتَهُ
مِن أَجْلِي (Ia meninggalkan istrinya karena-Ku), maka yang dimaksud
(meninggalkan istrinya pada hadits itu) adalah melakukan jima’. Akan
tetapi jika birahi seseorang cepat bereaksi dan tidak dapat mengendalikannya,
maka hal di atas tidak boleh ia lakukan, karena dapat menyebabkan puasanya
batal dan ia tidak terjamin aman dari keluarnya sperma atau terjerumus di dalam
persetubuhan. Allah subhanahu wata'aala telah berfirman di dalam hadits Qudsi:
“Ia meninggalkan istrinya demi Aku.” Dan kaidah Agama mengatakan, ”Setiap
sarana yang dapat mengantarkan kepada yang diharamkan, maka diharamkan.”
§ Kalau
seseorang melakukan persetubuhan lalu fajar terbit, maka ketika itu wajib
menanggalkannya, sedangkan puasanya sah sekalipun keluar sperma setelah
dzakarnya dicabut. Adapun kalau persetubuhan dilanjutkan sampai setelah fajar
terbit, maka puasanya batal, ia wajib bertobat, mengganti puasa hari itu dan
membayar kaffarat berat.
§ Kalau
seseorang masuk ke waktu Shubuh dalam keadaan janabat (junub) maka hal ini
tidak merusak puasanya, dan bahkan boleh menunda mandi junub, mandi haidh dan
nifas hingga setelah fajar Shubuh terbit, namun ia wajib segera mandi supaya
dapat melakukan shalat Shubuh dan agar ia segera didekati oleh para
malaikat.
§ Kalau
orang yang sedang berpuasa tidur di siang hari lalu bermimpi hingga keluar
sperma, maka puasanya tidak batal secara ijma’, bahkan ia harus menyempurnakan
puasanya.
§ Barangsiapa
yang melakukan pengeluaran mani di siang Ramadhan, seperti dengan memainkan
kemaluannya atau berulang-ulang memandang lawan jenisnya, ia wajib bertobat
kepada Allah dan melakukan imsak pada hari itu serta mengqadha’ puasa hari itu
di kemudian hari. Dan jika ia mulai melakukan pengeluaran mani lalu berhenti
dan belum keluar maninya, maka ia wajib bertobat dan ia tidak wajib qadha’
karena mani belum keluar. Dan hendaknya setiap orang yang berpuasa menghindari
segala sesuatu yang dapat memancing bangkitnya syahwat dan berupaya mengusir
bisikan-bisikan jiwa yang jahat. Adapun keluarnya madzi –sebagaimana
pendapat yang kuat– tidak membatalkan puasa. Keluarnya wadi –yaitu cairan bening
kental seusai kencing– tanpa ada rasa nikmat juga tidak membatalkan puasa dan
tidak mewajibkan mandi, hanya saja wajib dicuci dan berwudhu’. [Fatawa
Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/179]
§ “Barangsiapa
yang muntah tidak sengaja, maka tidak wajib qadha’, dan barangsiapa yang muntah
dengan disengaja, maka wajib mengqadha’. [Hadits shahih diriwayatkan oleh
At-Tirmidzi, 3/89] Oleh karenanya, barangsiapa yang muntahnya disengaja
dengan memasukkan jarinya ke dalam tenggorokannya atau sengaja menekan perutnya
atau sengaja mencium bau yang tidak sedap atau sengaja melihat sesuatu yang
dapat membuatnya muntah, maka ia wajib qadha’. Kalau setelah mau muntah namun
tidak jadi, maka puasanya tidak batal, karena tidak jadi muntah itu bukan atas
keinginannya, tetapi kalau ia yang menelannya kembali, maka puasanya batal.
Jika perutnya mual, maka ia tidak wajib menahan muntah, karena hal tersebut
dapat membahayakannya [Majalis Syahr Ramadhan, Ibnu Utsaimin, h.
76]. Apabila seseorang menelan sesuatu yang menempel di celah-celah giginya
dengan tidak sengaja, atau benda itu sangat kecil yang sulit untuk diketahui,
maka itu termasuk air liur dan tidak membatalkan. Tetapi kalau benda itu besar
dan memungkinkan baginya untuk diludahkan, maka batal puasanya bila ia telan
dengan sengaja. [Al-Mughni, 4/47] Karet, apabila bercampur sesuatu atau
mempunyai rasa tambahan atau manis, maka haram mengunyahnya, dan jika rasa
manis tersebut sampai ke tenggorokan maka dapat membatalkan. Setelah air
kumur dibuang dari mulut, maka basah atau lembab yang tersisa di mulut itu
tidak merusak puasa, karena hal seperti itu sulit dihindari. Orang yang
mimisan (hidung berdarah) puasanya tetap sah, karena mimisan itu timbul bukan
atas dasar kehendaknya [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 10/264]. Kalau gusi
bernanah atau berdarah karena gosok gigi, maka darah tidak boleh ditelan dan
harus diludahkan. Namun jika sebagiannya tertelan tanpa disengaja dan bukan
atas kemauannya maka tidak apa-apa; dan demikian pula muntah yang kembali masuk
ke tenggorokan tanpa kemauan dirinya, puasanya tetap sah. [Fatawa Al-Lajnah
Ad-Da’imah, 10/254] Ingus, yaitu cairan kental yang keluar dari rongga
hidung di kepala dan dahak, yaitu cairan kental yang keluar dari dalam dada
karena batuk atau berdehem, jika ditelan sebelum sampai ke mulut maka tidak
membatalkan puasa, karena sulit dihindari; akan tetapi jika ditelan sesudah
sampai di mulut maka pada saat itu puasanya batal. Dan bila ingus atau dahak
masuk secara tidak sengaja (tertelan) maka tidak membatalkan. Menghirup
uap air, sebagaimana dilakukan oleh buruh (pekerja) di tempat-tempat
penyulingan air tidak membatalkan puasa. [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah,
10/276] Dan makruh mencium aroma makanan tanpa keperluan mendesak, karena
hal itu dapat mengundang puasa menjadi batal. Termasuk keperluan mendesak
adalah mengunyah makanan untuk bayi, kalau hal itu terpaksa harus dilakukan
oleh sang ibu, dan mencicipi rasa makanan untuk diketahui sedap atau tidaknya.
Demikian pula jika di saat membeli sesuatu dengan terpaksa harus dicicipi.
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas pernah berkata, “Tidak apa-apa mencicipi cuka
atau makanan yang hendak dibeli.” [Dihasankan dalam Irwa’ Al-Ghalil, 4/86.
Lihat Al-Fath pada syarh bab ightisal ash-sha’im, dalam kitab Ash-Shiyam]
§ Bersiwak
(gogok gigi dengan siwak) adalah sunnah dilakukan sepanjang hari oleh orang
yang sedang berpuasa, sekalipun siwaknya lembab. Kalau seseorang yang sedang
berpuasa bersiwak, lalu merasakan rasa pedas atau rasa siwak selain itu,
kemudian menelannya, atau ia ludahkan, sedangkan di mulutnya masih ada ludah
lalu menggosokkannya kembali dan menelan ludah tersebut, maka tidak apa-apa.
[Al-Fatawa Ash-Sa’diyah, 245] Dan hendaknya ia menghindari dan tidak
menggunakan siwak yang telah dicampur zat lain, seperti siwak hijau; juga
menghindari siwak yang mempunyai rasa tambahan seperti rasa lemon dan menthol.
Dan hendaklah ia meludahkan serpihan siwak yang tercecer di mulut, ia tidak
boleh menelannya secara sengaja; dan jika tertelan secara tidak sengaja maka
puasanya tidak apa-apa.
§ Segala
sesuatu yang menimpa orang yang sedang berpuasa, seperti luka, mimisan atau
tersedak air atau bensin ke dalam tenggorokan bukan atas kesengajaan itu tidak
merusak puasa. Dan demikian pula debu, asap dan lalat yang masuk ke tenggorokan
dengan tidak sengaja, juga tidak membatalkan. Dan sesuatu yang tidak mungkin
dapat dihindari, seperti air liur (ludah) tidak membatalkan. Demikian halnya
debu jalanan dan debu tepung. Kalau seseorang mengumpulkan air liurnya di
mulut lalu ia telan dengan sengaja, maka puasanya juga tidak batal (menurut
pendapat yang lebih shahih). [Al-Mughni, Ibnu Quddamah, 3/106] Demikian pula
air mata yang tertelan, atau berminyak rambut atau mengubah warna rambut dengan
hanna’, (sejenis tanaman) yang kemudian rasanya terasa di tenggorokan. Dan memakai
hanna’ pada anggota badan, bercelak dan berminyak, [Lihat Majmu’ Al-Fatawa,
25/233, 25/245] memakai hand and body lotion, mencium wangi-wangian (parfum)
dan menggunakannya serta gaharu dan lain-lainnya tidaklah mengapa bagi orang
yang puasa, asalkan tidak dimasukkan ke dalam hidungnya. [Fatawa Al-Lajnah
Ad-Da’imah, 10/314] Sebaiknya tidak memakai pasta gigi di siang hari,
karena pasta gigi mempunyai sengatan yang amat kuat. [Majalis Syahr Ramadhan,
Ibnu Utsaimin, h. 72]
§ Sebagai
sikap waspada bagi orang yang puasa adalah untuk tidak berbekam, karena
perselisihan tentang masalah ini sangat tajam, sehingga Ibnu Taimiyah cenderung
kepada pendapat yang mengatakan batal puasa bagi orang yang berbekam
(dibekam).
§ Merokok
juga termasuk yang membatalkan puasa, dan bukan alasan untuk meninggalkan puasa
karena merokok. Sebab bagaimana akan dimaklumi orang yang melakukan
kemaksiatan?!
§ Menyelam
di dalam air atau berselimutkan pakaian basah untuk mendinginkan badan tidak
apa-apa dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa. Dan tidak mengapa pula
menyiramkan air di kepalanya karena kepanasan atau kehausan [Al-Mughni, 3/44],
namun makruh hukumnya berenang, karena dapat menyebabkan puasanya
batal. Dan orang yang pekerjaannya menyelam atau pekerjaannya menuntutnya
menyelam, selagi ia aman dari masuknya air ke dalam tenggorokannya, maka tidak
mengapa.
§ Kalau
seseorang makan atau minum atau melakukan persetubuhan dengan dugaan masih
malam (fajar Shubuh belum terbit. pent), namun kemudian ternyata fajar telah
terbit, maka tidak mengapa baginya, karena ayat Al-Qur’an membolehkan perbuatan
tersebut hingga ada kejelasan. Abdur Razaq telah meriwayatkan dengan sanad yang
shahih yang sampai kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau
berkata, “Allah menghalalkan makan dan minum bagimu selagi kamu masih ragu.”
[Fathul Bari, 4/135. Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikul Islam
Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 29/263]
§ Kalau
seseorang berbuka dengan dugaan bahwa matahari telah terbenam, padahal belum,
maka ia wajib mengganti puasanya (menurut jumhur ulama); karena hukum dasarnya
adalah masih tetapnya siang; dan keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan
keraguan. Namun Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa “ia tidak wajib mengganti
(mengqadha’).
§ Kalau
fajar telah terbit, sedangkan di mulutnya ada makanan atau minuman, maka para
ahli Fiqih sepakat bahwa orang itu harus meludahkannya dan puasanya sah. Dan
begitu pula hukum orang yang makan atau minum karena lupa, lalu sadar dan di
mulutnya ada makanan dan minuman, maka puasanya sah asalkan meludahkan apa yang
ada di dalam mulutnya.